Minggu, 30 Juni 2013

you can call me "D" if you want

tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang bioskop mulai 13 Juni 2013

 
You can call me “D” if you want

 

 Memasuki lorong yang begitu banyak lampu gantung, meja-meja yang hampir semuanya bertaplak warna merah, kayu dan marmer serta dinding yang putih dengan nuansa lampu sedikit kekuningan membuat tempat itu sejuk sekaligus hangat; entah sejuk itu karena mendungnya kota Surabaya beberapa hari terakhir merayap dan menyelimuti seluruh isi ruangan, atau karena hangat sedang menyelimuti hati saat itu, karena aku datang bersamanya.

 
hampir sama seperti kata anak magang beberapa waktu lalu

 
Wawllohu A’lam
 

aku tersenyum dalam hati untuk yang satu itu, seorang yang notabene beragama non muslim mengucapkan kata itu dan menempatkannya pada posisi yang benar sesuai dengan artinya “hanya Allah yang tau dan mengendalikan seiisi alam”.

 
Tersenyum karena itu salah satu bukti bahwa kita punya benih kerukunan antara satu sama lain sebenarnya, hanya terkadang terasa begitu gersang ketika banyak orang menganggap dirinya, keluarganya, atau kelompoknya yang paling benar dan paling hebat. Untuk yang satu itu, aku punya sesuatu buat kalian “jangan pernah merasa tidak berharga, sebaliknya juga jangan pernah merasa lebih berharga”.


Saatnya kembali ke “lorong” tadi;


lorong itu cukup lebar, dan lumayan panjang, dia memiliki beberapa ruangan di dalamnya. Beberapa orang nampak duduk bersama rekan dan keluarga sambil melihat buku menu dan bercakap, sampai tiba-tiba...


smoking area atau yang no smoking area


celetuk seorang laki-laki yang menyambut kedatangan kami, dan dengan setengah sadar karena masih sedikit mencoba mengenali rasa yang ada saat menyusuri lorong itu bersamanya, secara otomatis keluar kata-kata

 
smoking area mas...
 

begitu hebatnya kerja otak yang bekerja tanpa lelah, dan tanpa harus diperintah. Mungkin karena dia juga tau kalau masih ada beberapa batang rokok di saku celanaku yang siap untuk dihisap.


“Subhanallah” begitu besar karuniaNYA;

aku baru ingat mengucap namaNYA saat aku menulis cerita ini, mungkin benar kata beberapa orang seringkali ditengah kehingar-bingaran kegiatan dan aktifitas serta kejadian yang ada disekitar kita, membuat kita lupa untuk mengucap namaNYA; kita butuh diam sejenak untuk “me-review” semuanya dan mengucap syukur padaNYA, itu mungkin arti peribahasa “diam itu emas” karena dalam diam kita bisa melihat lebih jelas.

 
Baru beberapa saat kami duduk, dengan cekatan dan senyum salah seorang laki-laki yang berdiri siaga menyodorkan kami beberapa buku menu mulai dari minuman, makanan kecil, dan juga menu makanan utama. Berperawakan tidak besar dan cenderung kecil malah, dengan anting di telinga kiri dan senyum ramah yang selalu mengembang pada siapa saja, termasuk pada kami berdua.


Senyum;

aku selalu membayangkan dan bercita-cita saat warung kopi, atau cita-cita terbesarku sebuah Rumah Sakit berdiri kelak, semua karyawan diwajibkan untuk tersenyum selama bertugas tanpa terkecuali, agar pemilik kios bensin eceran seperti dalam lagu Iwan Fals “ambulance zigzag” tidak lagi merasa dibeda-bedakan;

tentunya itu bukan do’a agar sang pemilik kios bensin eceran itu celaka lagi karena kios bensinnya meledak, tetapi karena menurut aku senyum itu adalah sebuah pesan paling universal tentang keakraban, keramahan, kesamaan, persatuan, tidak hanya kasih sayang; itu sebabnya senyum bukan hanya untuk orang yang tersayang, tapi untuk semua.


Berbicara tentang orang tersayang, jangan takut untuk menjadi rancuh mana senyum yang special untuknya, dan mana yang universal karena saat kita benar-benar menyayanginya dan bersedia untuk hidup bersama selamanya, tentu bukan hanya senyum yang akan mampu berkata dan menjelaskan, tapi juga tatapan mata, tingkah laku yang berarti perhatian dan keperdulian padanya akan menjadi satu paket. Masing-masing dari kita juga memiliki mata hati yang akan mampu melihat dan membedakannya, termasuk dia.


Kembali kebagian dimana seseorang menyodorkan buku menu;

 
sesaat kemudian seorang perempuan yang bersamaku nyletuk, tepat di depan laki-laki tersebut...

masnya lucu yaa…, imut-imut...

tertawaa aku saat itu, dan sosok yang semula hanya tersenyum semakin melebarkan senyumnya, karena pasti dia juga merasa sama seperti apa yang saat itu aku rasakan, bahwa ruangan yang semula hanya sejuk dan hangat bertambah dengan keakraban.

 
fantastis… ; tidak perlu semua pengunjung harus seperti itu, hanya dengan satu pengunjung seperti dia, cukup membuat semuanya terasa begitu “benar”, tidak lagi ada batasan perbedaan antara pelayan dan tamu, ini benar-benar hebat…!! hebat sekali menurutku. Begini seharusnya memang; tidak ada perbedaan antara satu orang dengan orang yang lain, yang ada hanya perbedaan wilayah kerja dan tanggung jawab saja, tanpa harus berarti perbedaan siapa lebih tinggi dari yang lain. Sekaligus itu yang membuat aku semakin tertarik dengan seorang perempuan yang memiliki nama mirip dengan pelantun tembang tegar dan penyuka bunga mawar serta warna ungu, merah maron dan pink (merah muda) itu, yaa.. Rosa namanya.

 
Minuman dan makanan telah dihantarkan di meja, obrolan ringan terjadi silih berganti, sampai akhirnya seperti kebiasaanku yang selalu lebih cepat saat makan daripada kebanyakan teman-temanku, ternyata juga lebih cepat darinya.

 
Ini kesempatan...

Seruku dalam hati

 
jika memang boleh dibilang seperti itu.


Aku melangkahkan kaki menghampiri laki-laki lain yang bukan berbadan mungil tadi, tetapi juga merupakan salah satu dari beberapa orang yang bekerja dan sedang berada di lorong itu,

mas…ada tanaman bunga yang sedang mekar gak di sini?

begitu kira-kira aku mulai bertanya

 
cuman ada beberapa bunga disini mas, teratai, bunga sepatu dan satu lagi saya tidak tau namanya...

dan bunga yang dia tidak tau namanya itu justru yang sedang mekar menurutnya.

 
mau saya lihatkan mas…

sambungnya.


mendengar penawaran itu aku langsung mengiyakannya,


oke..terimakasih mas 

jawabku dengan memanggutkan kepala, dengan pandangan ke atas seakan membayangkan bunga apa itu.

Sejurus kemudian aku kembali duduk di samping pecinta bunga yang belum juga selesai makan.

Beberapa menit berselang, dari pintu lorong yang lain seorang laki-laki seakan memberi kode untuk memanggilku, dan ternyata dia adalah laki-laki yang menawarkan bantuan tadi, dan aku segera menghampirinya, menghiraukan anggapan Rosa yang sedang duduk dan menikmati makanannya berpikir macam-macam;

kenapa macam-macam??!!

Karena menurut aku bisa saja dia berpikir dan bertanya dalam hati, kenapa denganku yang beranjak sampai beberapa kali, dan “iya!” aku menghiraukan kemungkinan itu.
 

maaf mas, cuman ini yang mekar paling sempurna yang bisa saya temukan

 
kata laki-laki yang memanggilku dengan isyarat tadi


gakpapa mas, terimakasih banyak


jawabku.

Ternyata memang benar; pantas saja dia tidak mengetahui nama bunga itu, karena bukan hanya dia, tetapi aku juga untuk pertama kalinya melihat bunga dengan bentuk seperti itu.

Maklum saja aku bukan lulusan pertanian atau botanical agronomy yang mungkin saja lebih tahu, tetapi aku adalah lulusan ilmu komunikasi dengan konsentrasi audio visual; seharusnya itu bukan alasan, karena tidak seharusnya seseorang hanya membatasi diri dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, tetapi dia juga harus terbuka untuk ilmu-ilmu yang lain agar lebih berkembang dan berpengetahuan luas;

cukuplah untuk satu lagi penyesalan; lain kali aku akan berusaha lebih baik lagi untuk belajar tentang banyak hal, begitu juga kalian.

 
mau mengutarakan cinta ya mas..?

laki-laki itu bertanya,

yang spontan membuat aku kaget mendengar pertanyaan darinya dan aku hanya bisa senyum dan...

nggak…, udah….??!!#$@#*!?!

Itu salah satu jawaban yang paling membingungkan menurutku; sebuah jawaban dari aku sendiri, dan aku bingung juga dengan arti jawaban itu.

bingung karena aku sendiri tidak melabeli dengan nama tertentu apa yang aku lakukan ini, yang jelas aku berniat tidak hanya mengungkapkan dan membuktikan kalau aku sayang dengan dia yang saat itu sedang berdua dengan makanannya yang juga belum habis, tetapi mencoba membuatnya semakin mengerti dengan apa yang aku rasakan; itu saja.

Transaksi antara aku dan laki-laki tadi berakhir dengan saling berjabat tangan tradisi kebanyakan prosesi nikahan; yang dengan “vulgar” menyatakan, lebih berkesan jika tidak berbentuk kado atau karangan bunga, dengan gambar mirip celengan di atas kalimatnya. Aku melakukannya, bukan karena laki-laki itu menuliskan atau menyampaikan kalimat serupa, bukan juga karena laki-laki tersebut baru saja menikah, bahkan aku tidak tahu dia sudah menikah atau belum; tetapi yang jelas aku merasa itu perlu dilakukan karena, aku sudah membuat dia melakukan sesuatu yang bukan tugasnya.

Terimakasih sekali lagi buat masnya, saya puas dengan “service” yang anda berikan, saya pasti kembali dan semoga tetap bersama dia (dalam hatiku saat menulis ini).

Sisa beberapa suap lagi dan makanan pun habis, kemudian obrolanku dan dia berlanjut, dan sekarang level keseriusan topik obrolan semakin bertambah.

Serupa dengan saat dia menyampaikan rahasia tentang dirinya beberapa waktu lalu, rahasia yang bisa saja menjadi hambatan menurutnya bagi kami, dan masih serupa dengan waktu itu; tercengang memang, tetapi anehnya itu tidak membuat aku malas atau bahkan “menyerah” tapi malah semakin menyayanginya.

Membuat aku semakin merasa “hidup”; tohhidup memang tentang perjuangan menurutku, dan aku akan berjuang untuk itu insyaALLAH,

Senyum yang nampak indah dengan lesung pipit yang menghiasi, yang keluar setelah aku mengungkapkan niatku; lesung pipit yang menurutku terlalu sayang untuk “disembunyikan” olehnya, hingga salah satu cita-citaku kini membuat lesung pipit itu selalu menempel “tepat” disitu.

Setangkai bunga kecil, yang sedikit terlalu kecil saat coba aku bungkus dengan kertas tissue waktu di toilet sebelumnya; agar mirip dengan bucket paling sederhana. Setangkai bunga kecil tanpa nama serta tanpa bungkus aku sodorkan saat itu, bersama kecupan kecil di pipi kanan dekat telinga sembari membisikkan

aku sayang sama kamu...

hening sesaat...

pipi berlesung pipit itu nampak sedikit memerah dan “merontokkan” jantung katanya. Aku tidak tahu bagaimana bentuk dan rasa “rontok” itu, tapi mungkin sama dengan apa yang aku rasakan setiap aku melihat senyum, mata dan lesung pipit itu.
 

Suasana hening dan rontokan-rontokan itu berlangsung sampai akhirnya kami beranjak keluar dari lorong itu,

 
Intermezzo ya kang…

katanya sesaat sebelum kami beranjak pulang,

ada seorang peramal yang menebak…, kalo jodohku nanti adalah laki-laki dengan nama yang berhuruf depan D…

 

Tidak banyak komentar untuk kalimat yang satu itu, bahkan mampu membuatku hanya diam dan merenung sepanjang perjalanan kami pulang…

 

Aku bukan Doni, Dito, Dadang, Djumain, Diego, atau D yang lain…

gaungku dalam hati

 
I’am a man with T letter on my first name, but i love you and care about you, so what next...

 


Ps: buat semua peramal di dunia, tebakan kalian tidak cukup untuk membuat aku berhenti sampai di sini… J