Ketela adalah sebuah istilah yang saya gunakan untuk
mengemban perencanaan sebagai CEO Bakrie Group. Beberapa waktu lalu dan bahkan
seringkali saya mendengar pernyataan yang memperbandingkan ketela dengan keju
atau roti untuk menggambarkan suatu
nilai hasil (keberhasilan), dimana ketela merupakan penggambaran dari tingkat
keberhasilan yang rendah, jika dibandingkan dengan kedua makanan sebelumnya
(keju atau roti).
Menurut saya, penurunan nilai tersebut adalah tidak sesuai
dan hanya merupakan hasil dari sebuah “kecerdasan” promosi yang dilakukan oleh
negara-negara penghasil dua produk tersebut (keju dan roti) kepada bangsa kita,
saya sebut cerdas karena istilah tersebut hampir “mendarah daging” atau
katakanlah dianggap wajar atau benar oleh kebanyakan dan bahkan hampir semua
orang. Sebuah bentuk dan salah satu wujud dari ketidak banggaan akan produksi
dalam negeri (lokal) yang berkualitas hanya karena “trend atau pamor” yang
digembar-gemborkan melalui kecerdasan promosinya sekali lagi.
Hingga ketela – atau lebih tepatnya bagaimana potensi lokal (kearifan lokal) akan mampu menjadi
sebuah potensi yang akan membawa kesejahteraan bangsa – atau lebih kecil Bakrie
Group, sebagai group perusahaan lokal mampu mendunia dengan identitasnya
sebagai bangsa INDONESIA, serta menjadi kebanggaan bagi para karyawan,
konsumen, dan rekan – atau lebih besarnya bangsa INDONESIA hingga dunia.
Ketela, mbothe, talas, sagu, jagung atau apapun itu,
digunakan sebagai perumpamaan dari kebutuhan yang sangat tinggi akan
peningkatan “kearifan lokal” pada bangsa INDONESIA, dimana “competitor” tidak
hanya berasal dari luar negeri ternyata, bahkan dari dalam negeri; katakanlah
beras yang keberadaannya dinasionalisasi untuk seluruh wilayah negara ini dari
Sabang-Merauke dimana beberapa daerah tertentu memiliki potensi tanaman pangan
berkualitas yang lain bahkan. Langkah nasionalisasi tersebut menjadi
“competitor” ketika jumlahnya tidak memadai hingga harus import yang berarti
sekali lagi mengkonsumsi produksi luar negeri dan membawa efek yang saling
beruntun, sebuah regulasi dimana bentuk regulasi/kebijakan itu sendiri, yang jika kita berbaik sangka,
itu hanya ulah beberapa oknum yang jumlahnya makin membeludak. Oknum, regulasi
atau kebijakan merupakan “competitor” atau lebih tepatnya disebut sebagai musuh
atau kelemahan (weakness) terbesar dalam mengembangkan perekonomian bangsa
salah satunya (tragis –red.)
Tidak Jauh dari kacamata tersebut, Bakrie Group sebagai
sebuah bentuk integrasi dari berbagai perusahaan yang kesemuanya besar dan
mempunyai kekuatan serta daya saing yang
luas, dapat disebut sebagai sebuah negara dimana semua produknya merupakan
potensi yang diolah dan diperuntukkan bagi para konsumen atau
masyarakat/rakyatnya. Hingga pertanyaan tunggal yang muncul adalah; bagaimana
keberadaan sebuah negara Bakrie Group mampu menjadi kebanggaan bagi rakyatnya
dan menumbuhkan rasa kecintaan serta keinginan/ketertarikan untuk dapat terus
tumbuh besar dan sejahtera bersama.
Strengths,
sebagai sebuah perusahaan yang malang melintang selama 70 tahun, membuktikan
bahwa perusahaan ini tidak hanya mampu bersaing tetapi juga merupakan
perusahaan yang menjadi acuan serta keberadaannya diperhitungkan oleh para
konsumen dan kompetitornya. Kita sebut
sebagai faktor “kepercayaan” yang telah mampu direbut oleh Bakrie Group,
bersamaan dengan fluktuasi dari nilai kepercayaannya. Kemampuan untuk
bertahan/survive, dan bahkan perkembangan yang dicapai sampai dengan sekarang
merupakan modal (kita sebut; kepercayaan) utama untuk dapat terus hingga 70
tahun yang kedua.
Weaknesses, Besar
dan luasnya bidang usaha pada Bakrie Group menimbulkan controlling menjadi
kelemahan yang harus terus dipantau dan diwaspadai. Keberadaan beragam anak
perusahaan dan bahkan cucu atau cicit (anaknya anak, dst) yang mungkin dapat
tumbuh atau bahkan lahir tanpa diketahui asal-usul “pernikahannya” sangat
mungkin terjadi, dimana permasalahannya dapat timbul ketika kualitas
keberadaannya dipertanyakan atau disangsikan oleh pihak lain (masyarakat atau
competitor) dan tetap yang harus menanggung bebannya adalah Bakrie Group
sebagai induknya. Selain itu, kejadian atau bencana yang terjadi di wilayah
porong-sidoarjo Jawa Timur menjadi salah satu “kelemahan” tersendiri, dimana
perihal tersebut sangat berpotensi menimbulkan permasalahan yang dapat dengan
mudah meluap (secara sengaja dan terencana – maupun tidak) yang dikendalikan
oleh banyak kepentingan dari berbagai pihak, baik luar maupun dalam sendiri
(tidak menutup kemungkinan), yang terlebih merusak nama Bakrie Group sebagai
perusahaan yang professional maupun financial. Financial disini dimaksud bukan
karena besarannya; karena tidak mungkin dampak social dapat diukur dengan nilai
financial, tetapi disebut karena tidak hanya faktor-faktor dampak social maupun
financial warga “terdampak” yang muncul, tetapi juga kepentingan-kepentingan
lain di luar itu (seperti disebutkan sebelumnya).
Opportunities, masih
banyaknya bidang usaha/industri yang potential masa depan yang belum terjamah
di bidang industri kreatif (terlebih), serta “berjamurnya” pelaku-pelaku usaha
tersebut yang kompeten dan potensial namun berskala kecil maupun sedang. Kedua
perihal tersebut dapat dikategorikan peluang yang dapat mulai serius digarap
oleh perusahaan ini Bakrie Group, hingga mampu bersinergi satu sama lain antara
ketiga faktor tersebut, hingga mampu menjadi pelopor dari berkembangnya
industri kreatif di dalam negeri dan perekonomian mikro dan menengah yang akan
menjadi penopang perekonomian Negara (INDONESIA) decara signifikan pada
beberapa tahun kedepan.
Threats, isu dan
perhelatan Pilpres 2014 mau tidak mau akan menjadi tantangan tersendiri bagi
Bakrie Group saat ini. “kepiawaian” untuk dapat menjaga eksistensi dan
membuktikan bahwa profesionalisme setiap perusahaannya tidak berhubungan dengan
pencalonan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden RI 2014 yang diusung oleh
salah satu partai besar di Negara ini harus “ekstra” dijaga, dikarenakan dapat
diprediksi ada banyak pihak yang akan menghubungkan isu tersebut dan
memanfaatkannya, dengan “mengaduknya” dengan weaknesses yang saya sebutkan di atas.
Tantangan terbesar kedua adalah, memperbaiki image Bakrie
Group sebagai perusahaan yang membawa “bencana” bagi masyarakat jawa timur
khususnya (porong-sidoarjo), maupun isu-isu perusakan alam yang dilakukan oleh
perusahaannya yang lain (penambangan, pembalakan hutan, dll) di tengah
gencarnya promo dunia untuk gerakan go
green, harus menjadi konsentrasi tersendiri.
Kedua perihal tersebut di atas, mengakibatkan tantangan
ketiga terbesar menurut saya; yaitu penurunan kepercayaan masyarakat dalam
negeri pada nama besar Bakrie Group, namun disisi lain pandangan internasional
(investor/rekanan) yang condong untuk kemudian mendekati dan memberikan
kontribusi positif (dikarenakan pandangan yang lebih rasional dari perkembangan
segi bisnis Group, tanpa memiliki hubungan emosional secara geografis, sejarah
dan sosial) juga harus selalu dikontrol dan diwaspadai, karena dapat menjadi
“boomerang” beberapa tahun kedepan ketika peningkatan tajam kerjasama dengan
pihak luar (internasional) justru akan lagi-lagi mengakibatkan keterpurukan
perekonomian lokal (karena kurang perhatiannya pada aspek “kearifan lokal”,
yang telah terlebih dahulu disebutkan di awal)
Program awal sebagai CEO, yang diperoleh dari merangkum
kesemua perihal yang dijabarkan secara singkat di atas adalah;
1 .
Mengangkat Tanri Abeng sebagai presidential
advisory council of CEO (presiden dewan penasehat CEO), dimana anggotanya
terdiri dari beberapa ahli atau pakar di bidangnya dari universitas-universitas
terpilih dan terpercaya. Dimana dewan penasehat dan presidennya memiliki garis
penghubung (putus-putus) dengan CEO, yang bukan berarti garis instruksional
tetapi merupakan garis koordinasi. Keberadaan dan fungsi praktisnya seperti
pada Badan Pertimbangan Agung yang dimiliki Presiden.
2 .
Memanggil semua jajaran pemimpin perusahaan
dalam Bakrie Group, untuk memperkenalkan diri, membagikan sebuah buku pedoman
profesionalisme (ambil contoh; buku dari balik meja Tanri Abeng) kepada para
pemimpin perusahaan, bahwasannya profesionalisme dalam diri masing-masing
merupakan tanggung jawab personal sekaligus kunci utama kebangkitan dan semakin
berkembangnya kualitas perusahaan serta hidup masing-masing individu
kedepannya. Menegaskan bahwasannya segala macam hal atau terobosan yang tidak
membawa kebaikan bagi masyarakat sekitar, karyawan serta perusahaan dinyatakan
sebagai perbuatan “indisipliner” yang bertentangan dengan visi, misi dan tujuan
awal Bakrie Group berdiri sejak awal.
3 .
Proses penyaringan dan pengayaan personal dalam
tubuh Bakrie Group tidak hanya dilakukan melalui study kasus (manajemen konflik) di lapangan, tetapi juga mengadakan
program pendidikan kepemimpinan bagi semua insan bakrie (karyawan) yang
berpotensi dan berprestasi secara berkala, dan berkesinambungan melalui lembaga
pendidikan resmi yang dimiliki Bakrie Group.
4 .
Peningkatan apresiasi terhadap para karyawan,
yang merupakan tulang punggung dari perusahaan melalui program “sehat karyawan
dan keluarga”, pendidikan, serta peningkatan standart keselamatan kerja seluruh
karyawan (berdasarkan bidang usaha dan keja).
5 .
Peningkatan keperdulian perusahaan dengan
kondisi social dan kemasyarakatan di sekitar wilayah usaha. Contoh; bagi semua
karyawan bakrie group yang berada di Jakarta, akan dikenakan hari tertentu
(sebagai: public transportation day)
dimana semua karyawannya (tidak terkecuali) pada hari tersebut tidak
diperkenankan membawa kendaraan bermotor jenis apapun, dan harus menggunakan
fasilitas transportasi umum, dan untuk menunjangnya tersedia juga beberapa bus
jemputan (di pul. / titik penjemputan, dan jadwal tertentu). Salah satu contoh tersebut, selain sebagai
bentuk apresiasi akan keadaan Jakarta, memberikan solusi, juga mampu memberikan
atau membangun attitude karyawan akan kedisiplinan, keperdulian yang diharapkan
dapat merangsang lahirnya inovasi-inovasi baru yang bermanfaat bagi masyarakat,
dan perusahaan.
6 .
Konsentrasi di tahun awal pada pengolahan yang
“mengawinkan” potensi lokal dengan kebutuhan masyarakat yang belum tercukupi
(katakanlah; salah satunya di bidang kesehatan), dengan cara: semisal (contoh)
Mendirikan pabrik coklat pada bidang usaha
(perkebunan coklat), tidak hanya menjual cocoa dalam bentuk mentah atau olahan
setengah jadi, hingga tercipta berbagai varian produk coklat yang mampu diminati
pasar domestik maupun internasional. “Dikawinkan” dengan pendirian Rumah Sakit
Umum yang berkualitas di beberapa wilayah (tidak menutup kemungkinan di Negara
lain yang membutuhkan juga), seiring dengan perkembangan produksi coklat
tersebut. Dimana biaya operasional Rumah Sakit didapatkan dari hasil (margin)
pabrik coklat, serta adanya sebuah divisi investigasi dan administrasi yang
secara aktif menjadi pemecah kebuntuan atau solusi tentang skema pembiayaan
(contoh; untuk korban kecelakaan lalu lintas, divisi ini akan secara langsung
mengurus segala macam keberadaan asuransi yang terkena pada para korban –
banyak yang tidak mengetahui bahwa SIM sekaligus tanda kepemilikan asuransi
jiwa dan kecelakaan bagi pemegangnya, dll). Sehingga permasalahan (polemik
dunia kesehatan) tentang pelayanan Rumah Sakit dapat terpecahkan (semoga) dan
diprakarsai oleh Bakrie Group.
7 .
Semua program atau kebijakan merupakan hasil
rapat, metting atau diskusi bersama pihak-pihak terkait, hingga menjadi sebuah
keputusan yang menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menjaga dan
menjalankannya.
Begitu kira-kira jabaran sangat singkat dan tidak lengkap
yang saya susun di media blogging ini, ketika harus berandai menjadi pemegang
tampuk pimpinan di Bakrie Group (CEO). Segala macam masukan dan kajian, baik
ilmiah maupun fiksi yang dapat dirangkum dari berbagai peserta lomba ini semoga
dapat membawa kebaikan terutama bagi kepentingan banyak pihak dan bukan
golongan. Penyelenggara lomba (Anindya Bakrie) merupakan sosok cerdas dan
revolusioner dengan mengadakan ajang blogging ini, semoga kecerdasan,
kesempatan dan kemampuan yang dimiliki saat ini membawa kebaikan.
Kemampuan, dan kesempatan besar yang dimiliki seseorang selalu beberiring dengan tanggung jawab yang
besar pula untuk kebaikan dalam kehidupan masyarakat di dunia, dan pribadi
serta orang tua di akhirat nanti.
Salam Nusantara
Tinton Bramasto